Rabu, 05 Oktober 2016

Pelestarian Permainan Tradisional


Pelestarian Permainan Tradisional
CHANDRA TRISNA BAYU

Pelestarian Permainan Tradisional
Pertemuan Ke 1
Setiap hari Minggu.
Setelah anda membaca petunjuk ini pastikan anda menyepakati pembelajaran lewat online ini dengan mengirim respon ke email Chandratrisnas44@gmail.com.

 Rencana Pembelajaran Online

About The Course : 
1. Pelestarian ini akan di adakan dengan mengadakan pertemuan dengan tujuan memberikan kesadaran pada generasi muda untuk tetap melestarikan Permainan Tradisional.
2.  pelestarian ini juga dilalkukan di media sosial.
3. memberikan pengetahuan tentang berbagai macam dan jenis permainan tradisional.
4. melakukan gerakan aktif sebagai bukti nyata.
About The Instruction :
anak-anak makin jarang memainkan permainan tradisional dan cenderung terpaku pada gadget modern. Dari risetnya, 40% dari 2.500 permainan tradisional Nusantara terancam hilang. 
Dan disini saya akan memperkenalkan bapak permainan tradisiona; yaitu Mohamad Zaini Alif atau yang lebih dikenal dengan Zaini Alif adalah pendiri Komunitas Hong yang merupakan komunitas permainan tradisional yang bisa jadi adalah komunitas pertama yang menginspirasi untuk komunitas lain yang serupa.
Sebuah kehormatan bagi komunitas Anak Bawang untuk bisa bertemu dengan Kang Zaini dan berbincang banyak hal tentang awal mula pendirian komunitas Hong dan permainan tradisional tentunya. Inilah hasil perbincangan sore itu di sebuah warung makan di Surakarta.
  
Langkah seribu, dimulai dari langkah pertama.
Dan lakukanlah dahulu, karena bagian tersulit adalah untuk memulai.
Cerita perjalanan hingga akhirnya sampai pada komunitas hong seperti sekarang ini ternyata punya cerita yang panjang.
Dimulai dari ceritanya ketika lulus dari ITB sebagai wisudawan terbaik. Berbagai tawaran datang dari bermacam perusahaan mainan di Indonesia (karya tulis S1nya adalah tentang permainan tradisional), tetapi tak ada satu pun yang diterimanya. Ia justru kemudian memilih bekerja di sebuah perusahaan mainan dari Amerika yang saat itu sedang digemari. Enam bulan bekerja di sana, ia telah berhasil mencapai level manajer desain. Tapi...ada perasaan ewuh pekewuh (bahasa Jawa: sungkan), karena seperti melangkahi mereka yang sudah lama bekerja di situ dan masih pada level pekerjaan yang sama. Karena itulah, sebuah keputusan diambil. Surat pengunduran diri pun diajukan.
Selepas itu, ia kemudian memutuskan untuk tinggal di Ubud Bali. Merintis usahasouvenir kecil-kecilan, hingga akhirnya berkembang sampai menjadi komoditas ekspor dan mempunyai 20 karyawan. Dari seorang karyawannya yang sering meminta ijin untuk pulang ke rumah dan mengikuti upacara adat, Zaini Alif menemukan sebuah pemikiran.
Kata si karyawan, “Saya sering pulang karena jika tidak begitu, siapa yang akan menguburkan saya?”
Dan..di situlah tanya itu berkembang.
Bagaimana dengan saya (Zaini Alif)? Siapa yang akan menguburkan saya?
Kemudian, dari Bali berpindahlah ia ke Bandung. Dengan modal membeli tanah 100meter di Dago Atas, dibangunlah sebuah rumah usaha yang mengangkat kerajinan lokal. Berkembang dari usaha yang kecil pula, hingga akhirnya menjadi besar. Tapi, buat apa mobil dan segala kenyamanan materi jika tidak bermanfaat bagi sesama?
Dari petak kecil di sekitar rumah itulah mulai dilakukan kegiatan yang menjadi pondasi Komunitas Hong. Kegiatan pengenalan permainan tradisional mulai dilakukan. Mulai dari pengenalan tentang permainan tradisional hingga acara bermain yang dilanjutkan dengan mengaji. Dari sanalah, segala bentuk acara bermain itu dimulai. Semula, mereka bermain-main saja. Lantas semakin bertambah banyaklah orang yang datang untuk berkunjung dan bermain. Jika yang datang bermain masih bisa dihitung dengan jari, mungkin tidak jadi soal. Tetapi jika sudah hitungan uang koin, siapa pula yang tidak merasa capai?
Muncullah ide untuk membuat harga tiket masuk ketika akan bermain di komunitas Hong. Mula-mula, diberikan HTM 20ribu. Tapi, Pakarangan Ulin (tempat Komunitas Hong bermain) yang semula riuh ramai oleh kunjungan, menjadi sepi dari kedatangan individu maupun sekolah. Langkah nekad pun akhirnya dibuat oleh Kang Zaini. Bagaimana kalau tarifnya kita naikkan menjadi 50ribu? Kata anak-anak di Komunitas Hong, "Aduh Kang, 20ribu saja tidak ada yang datang. Apalagi jika harus membayar 50ribu?"
Tak dinyana tak diduga, dengan tarif yang jauh lebih mahal, banyak kunjungan mulai berdatangan. Pakarangan Ulin pun mulai dibanjiri orang-orang yang akan bermain. Uang yang terkumpul pun akhirnya semakin banyak. Sebagian dari uang itu digunakan untuk memperbesar Pakarangan Ulin, menambah berbagai fasilitas bermain dan pembangunan guest house. Sebagian lagi disimpan sebagai dana tabungan pendidikan bagi tiap anak.
Dana tabungan itu, akan diambilkan dari kehadiran tiap anak. Tiap kehadiran anak, akan dinilai misalnya 50ribu dan itu akan disimpan ke tiap buku tabungan yang dimiliki tiap anak. Jika nanti orang tua kekurangan biaya untuk pendidikan anak, misalnya saja, tabungan anak adalah 2juta tapi biaya yang dibutuhkan 4juta, maka orang tua anak bisa meminjam dari Komunitas Hong melalui persetujuan forum (ada pertemuan rutin Rebonan yang diadakan tiap hari Rabu di awal bulan).
Di sinilah uniknya cara pembayaran pinjaman itu. Jika di bank kita harus menyetorkan uang, tapi di Komunitas Hong pembayarannya dilakukan dengan kehadiran anak untuk bermain di Pakarangan Ulin. Semakin sering anak bermain, semakin berkuranglah pinjaman itu. Misalnya saja, tiap kehadiran anak akan dihitung 50ribu. Pinjaman tersebut akan dikurangi dengan nominal dari tiap kehadiran dan akan terbayar lunas sesuai kehadiran anak.
Maka, bermain tidak hanya sekedar bermain. Aku bermain, maka aku senang.
Dan bukankah hidup adalah permainan dan senda gurau? Maka, marilah bermain, marilah bersenang-senang, marilah berbahagia.
Orang yang paling bermanfaat adalah yang paling berguna bagi masyarakat sekitarnya.
Zaini berbincang dengan detikcom dan RCTI -yang ke Australia atas undangan Australia Plus ABC International- usai workshop permainan tradisional yang digelar Komunitas Hong bagi anak-anak SD-SMP di OzAsia Festival di Adelaide Festival Center, Adelaide, Southern Australia, September 2015. 
Komunitas Hong adalah komunitas yang didirikan Zaini Alif untuk menginventarisasi, mengajarkan dan melestarikan aneka permainan tradisional Nusantara mulai 2005 lalu. Komunitas ini berada di kawasan Dago Pakar, Bandung, Jawa Barat. Nama komunitas yang didirikan Zaini itu diambil dari istilah anak-anak Sunda yang bermain petak umpet dan selalu berteriak "hong!"

Zaini sedang memperagakan permainan tradisional di depan anak sekolah Adelaide (Foto: Nograhany WK)


"Mulai 2005 kami dirikan Komunitas Hong, untuk sosialisasikan permainan tradisional, saya koleksi, saya teliti sendiri. Menggali nilai-nilai dan permainan tradisional, ribuan permainan Indonesia, kemudian kita ajarkan kepada anak-anak di seluruh dunia. Mulai Indonesia, Australia ke mana pun kita ajarkan permainan tradisonal," jelas dia. 
Fenomena anak-anak masa kini yang lebih cenderung main gadget seperti tablet layar sentuh atau konsol game, sangat menjadi perhatiannya. Sebenarnya, tak masalah bermain gadget asal anak-anak tak lupa keluar bermain bersama teman-temannya. Bermain di luar bersama teman-teman adalah ciri khas permainan tradisional.

(Foto: Nograhany WK)


"Permainan tradisional lebih mengedepankan pada nilai-nilai kebersamaan, keceriaan, kesenangan dan sebagainya. Berbeda dengan permainan modern yang tujuannya selalu mengejar kemenangan, kemenangan dan kemenangan dan cenderung individual," tutur pria yang sudah menulis 4 buku tentang permainan tradisional itu.  
Seperti di siang itu, Komunitas Hong mengajarkan anak-anak SD-SMP di Adelaide bermain sarung dalam workshop. Dalam workshop itu diperkenalkan beberapa permainan yang menggunakan sarung, benda yang rata-rata orang Indonesia memilikinya.
Diiringi oleh musik angklung dari Adelindo Angklung yang memainkan musik-musik Sunda, anak-anak dibentuk berkelompok, minimal berdua untuk memainkan sarung. Seperti sarung diputar-putar di lengan kemudian dilemparkan ke udara dan harus ditangkap anak lainnya dengan lengan pula. 
Kemudian, sarung yang dibentuk kura-kura dan dioper-operkan oleh anak-anak yang sudah dibentuk berkelompok dalam barisan. Yang paling cepat namun bentuknya paling utuhlah yang menang. Kenyataannya, banyak kura-kura dari sarung itu tak utuh lagi, terkoyak-koyak ketika sampai di barisan akhir. Namun, anak-anak meloncat-loncat, berteriak dengan gembira dalam permainan itu. 

(Foto: Nograhany WK)


"Sangat aktif dan menyenangkan," demikian kesan seorang siswi, Madison Evans (13). 
Lachlan Schilling (Foto: Nograhany WK)


"Permainan Indonesia sangat mengagumkan, sangat sosial dan tradisional," imbuh siswa lain, Lachlan Schilling (13). 
Zaini pun berencana membuat museum permainan tradisional Nusantara. "Ini baru beberapa, permainan sarung aja ada 30 jenis permainan. Saya temukan 2.500 permainan Indonesia dari Sabang-Merauke. Sangat banyak. Indonesia negeri bermain, variasi budaya sangat beragam menghasilkan mainan yang sangat banyak," tutup dia
"Sekitar 40 persen sudah mulai hilang, dari total 2.500. Bukan hilang sih, jarang dimainkan, ada yang hilang, ada yang jarang dimainkan. Lama-lama punah karena nggak ada bahannya, nggak ada teman bermainnya, nggak ada data permainan, itu awal terjadi hilangnya permainan tradisional," demikian kata Zaini Alif. 


Sumber : http://news.detik.com/internasional/3087069/melalui-komunitas-hong-zaini-alif-lestarikan-permainan-tradisional
https://www.merdeka.com/gaya/komunitas-hong-surga-permainan-tradisional-di-bandung.html


isi pertanyaan berikut ini !




1 komentar: